Pic Source: google.com |
Benar saudariku… memakai jilbab adalah kewajiban kita
sebagai seorang muslimah. Dan dalam pemakaiannya kita juga harus memperhatikan
apa yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seperti telah disebutkan pada artikel sebelumnya, terdapat beberapa persyaratan
dalam penggunanan jilbab yang sesuai syari’at. Semoga Allah memudahkan penulis
memperjelas poin-poin yang ada dalam artikel sebelumnya.
DEFINISI JILBAB
Secara bahasa, dalam kamus al Mu’jam al Wasith
1/128, disebutkan bahwa jilbab memiliki beberapa makna, yaitu:
- Qomish (sejenis jubah).
- Kain yang menutupi seluruh badan.
- Khimar (kerudung).
- Pakaian atasan seperti milhafah (selimut).
- Semisal selimut (baca: kerudung) yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya.
Adapun secara istilah, berikut ini perkataan para
ulama’ tentang hal ini.
Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Jilbab menurut
bahasa Arab yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, bukan hanya sebagiannya.”
Sedangkan Ibnu Katsir mengatakan, “Jilbab adalah semacam selendang yang
dikenakan di atas khimar yang sekarang ini sama fungsinya seperti izar (kain
penutup).” (Syaikh Al Bani dalam Jilbab Muslimah).
Syaikh bin Baz (dari Program Mausu’ah Fatawa Lajnah wal
Imamain) berkata, “Jilbab adalah kain yang diletakkan di atas kepala dan
badan di atas kain (dalaman). Jadi, jilbab adalah kain yang dipakai perempuan
untuk menutupi kepala, wajah dan seluruh badan. Sedangkan kain untuk menutupi
kepala disebut khimar. Jadi perempuan menutupi dengan jilbab, kepala, wajah dan
semua badan di atas kain (dalaman).” (bin Baz, 289). Beliau juga
mengatakan, “Jilbab adalah rida’ (selendang) yang dipakai di atas khimar
(kerudung) seperti abaya (pakaian wanita Saudi).” (bin Baz, 214). Di tempat
yang lain beliau mengatakan, “Jilbab adalah kain yang diletakkan seorang
perempuan di atas kepala dan badannnya untuk menutupi wajah dan badan, sebagai
pakaian tambahan untuk pakaian yang biasa (dipakai di rumah).” (bin Baz,
746). Beliau juga berkata, “Jilbab adalah semua kain yang dipakai seorang
perempuan untuk menutupi badan. Kain ini dipakai setelah memakai dar’un
(sejenis jubah) dan khimar (kerudung kepala) dengan tujuan menutupi
tempat-tempat perhiasan baik asli (baca: aurat) ataupun buatan (misal, kalung,
anting-anting, dll).” (bin Baz, 313).
Dalam artikel sebelumnya, terdapat pertanyaan apa beda
antara jilbab dengan hijab. Syaikh Al Bani rahimahullah mengatakan, “Setiap
jilbab adalah hijab, tetapi tidak semua hijab itu jilbab, sebagaimana yang
tampak.” Sehingga memang terkadang kata hijab dimaksudkan untuk makna
jilbab. Adapun makna lain dari hijab adalah sesuatu yang menutupi atau
meghalangi dirinya, baik berupa tembok, sket ataupun yang lainnya. Inilah yang
dimaksud dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al-Ahzab ayat 53, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi kecuali bila
kamu diberi izin… dan apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepda mereka (para
istri Nabi), maka mintalah dari balik hijab…”
SYARAT-SYARAT PAKAIAN MUSLIMAH:
1. Menutup Seluruh Badan Kecuali Yang Dikecualikan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ
أَدْنَى أَن يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ
مِنْهَا…
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…” (QS. An Nuur: 31)
Tentang ayat dalam surat An Nuur yang artinya “kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya”, maka terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama sehingga membawa konsekuensi yang berbeda tentang hukum
penggunaan cadar bagi seorang muslimah. Untuk penjelasan rinci, silakan melihat
pada artikel yang sangat bagus tentang masalah ini pada artikel Hukum Cadar
di www.muslim.or.id.
Dari syarat pertama ini, maka jelaslah bagi seorang muslimah
untuk menutup seluruh badan kecuali yang dikecualikan oleh syari’at. Maka,
sangat menyedihkan ketika seseorang memaksudkan dirinya memakai jilbab, tapi
dapat kita lihat rambut yang keluar baik dari bagian depan ataupun belakang,
lengan tangan yang terlihat sampai sehasta, atau leher dan telinganya terlihat
jelas sehingga menampakkan perhiasan yang seharusnya ditutupi.
Catatan penting dalam poin ini adalah penggunaan khimar yang
merupakan bagian dari syari’at penggunaan jilbab sebagaimana terdapat dalam
ayat selanjutnya dalam surat An Nuur ayat 31,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke dadanya.”
Khumur
merupakan jamak dari kata khimar yang berarti sesuatu yang dipakai untuk
menutupi bagian kepala. Sayangnya, pemakaian khimar ini sering dilalaikan oleh
muslimah sehingga seseorang mencukupkan memakai jilbab saja atau hanya khimar
saja. Padahal masing-masing wajib dikenakan, sebagaimana terdapat dalam hadits
dari Sa’id bin Jubair mengenai ayat dalam surat Al Ahzab di atas, ia berkata, “Yakni
agar mereka melabuhkan jilbabnya. Sedangkan yang namanya jilbab adalah qina’
(kudung) di atas khimar. Seorang muslimah tidak halal untuk terlihat oleh
laki-laki asing kecuali dia harus mengenakan qina’ di atas khimarnya yang dapat
menutupi bagian kepala dan lehernya.” Hal ini juga terdapat dalam atsar
dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata,
لابد للمرأة من ثلاثة أثواب تصلي فيهن: درع و جلباب و خمار
“Seorang wanita dalam mengerjakan shalat harus mengenakan
tiga pakaian: baju, jilbab dan khimar.” (HR. Ibnu Sa’ad, isnadnya shahih berdasarkan syarat Muslim)
Namun terdapat keringanan bagi wanita yang telah menopause
yang tidak ingin kawin sehingga mereka diperbolehkan untuk melepaskan
jilbabnya, sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 60:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ
نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid
dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan
berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Bijaksana.”
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan kata “pakaian” pada ayat di atas adalah “jilbab” dan hal serupa
juga dikatakan oleh Ibnu Mas’ud. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al Baihaqi).
Dapat pula diketahui di sini, bahwa pemakaian khimar yang dikenakan sebelum
jilbab adalah menutupi dada. Lalu bagaimana bisa seseorang dikatakan
memakai jilbab jika hanya sampai sebatas leher? Semoga ini menjadi renungan
bagi saudariku sekalian.
Berikut ini contoh tampilan khimar dan jilbab. Khimar
dikenakan menutupi dada. Setelah itu baru dikenakan jilbab di atasnya. (warna,
bentuk dan panjang pakaian dalam gambar hanyalah sebagai contoh).
Catatan penting lainnya dari poin ini adalah terdapat
anggapan bahwa pakaian wanita yang sesuai syari’at adalah yang berupa jubah
terusan (longdress), sehingga ada sebagian muslimah yang memaksakan diri untuk
menyambung-nyambung baju dan rok agar dikatakan memakai pakaian longdress.
Lajnah Daimah pernah ditanya tentang hal ini, yaitu apakah jilbab harus
“terusan” atau “potongan” (ada pakaian atasan dan rok bawahan). Maka
jawaban Lajnah Daimah, “Hijab (baca: jilbab) baik terusan ataukah potongan,
keduanya tidak mengapa (baca: boleh) asalkan bisa menutupi sebagaimana yang
diperintahkan dan disyari’atkan.” Fatwa ini ditandatangani oleh Abdul Aziz
bin Baz sebagai ketua dan Abdullah bin Ghadayan sebagai anggota (Fatawa
Lajnah Daimah 17/293, no fatwa: 7791, Maktabah Syamilah). Dengan demikian,
jelaslah tentang tidak benarnya anggapan sebagian muslimah yang mempersyaratkan
jubah terusan (longdress) bagi pakaian muslimah. Camkanlah ini wahai saudariku!
2. Bukan Berfungsi Sebagai Perhiasan
Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat An Nuur ayat 31, “…Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya…” Ketika jilbab dan pakaian
wanita dikenakan agar aurat dan perhiasan mereka tidak nampak, maka tidak tepat
ketika menjadikan pakaian atau jilbab itu sebagai perhiasan karena tujuan awal
untuk menutupi perhiasan menjadi hilang. Banyak kesalahan yang timbul karena
poin ini terlewatkan, sehingga seseorang merasa sah-sah saja menggunakan jilbab
dan pakaian indah dengan warna-warni yang lembut dengan motif bunga yang
cantik, dihiasi dengan benang-benang emas dan perak atau meletakkan berbagai
pernak-pernik perhiasan pada jilbab mereka.
Namun, terdapat kesalahpahaman juga bahwa jika seseorang
tidak mengenakan jilbab berwarna hitam maka berarti jilbabnya berfungsi sebagai
perhiasan. Hal ini berdasarkan beberapa atsar tentang perbuatan para sahabat
wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengenakan
pakaian yang berwarna selain hitam. Salah satunya adalah atsar dari Ibrahim An
Nakhai,
أنه كان يدخل مع علقمة و الأسود على أزواج النبي صلى الله عليه
و سلم و يرا هن في اللحف الحمر
“Bahwa ia bersama Alqomah dan Al Aswad pernah mengunjungi
para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia melihat mereka mengenakan
mantel-mantel berwarna merah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf)
Catatan: Masalah warna ini berlaku bagi wanita. Adapun bagi pria,
terdapat hadits yang menerangkan pelarangan penggunaan pakaian berwarna merah.
Dengan demikian, tolak ukur “Pakaian perhiasan ataukah bukan
adalah berdasarkan ‘urf (kebiasaan).” (keterangan dari Syaikh Ali Al Halabi).
Sehingga suatu warna atau motif menarik perhatian pada suatu masyarakat maka
itu terlarang dan hal ini boleh jadi tidak berlaku pada masyarakat lain.
3. Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
tentang dua kelompok yang termasuk ahli neraka dan beliau belum pernah
melihatnya,
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ
رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ
وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah
melihatnya, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul
manusia dengan cambuknya dan wanita yang kasiyat (berpakaian tapi telanjang,
baik karena tipis atau pendek yang tidak menutup auratnya), mailat mumilat
(bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang), kepala mereka seperti
punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya, padahal
baunya didapati dengan perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim 3971, Ahmad 8311
dan Imam Malik 1421 – lihat majalah Al Furqon Gresik)
Ambil dan camkanlah hadits ini wahai saudariku, karena
ancamannya demikian keras sehingga para ulama memasukkannya dalam dosa-dosa
besar. Betapa banyak wanita muslimah yang seakan-akan menutupi badannya, namun
pada hakekatnya telanjang. Maka dalam pemilihan bahan pakaian yang akan kita
kenakan juga harus diperhatikan karena sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdil
Barr, “Bahan yang tipis dapat menggambarkan bentuk tubuh dan tidak dapat
menyembunyikannya.” Syaikh Al Bani juga menegaskan, “Yang tipis
(transparan) itu lebih parah dari yang menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal).”
Bahkan kita ketahui, bahan yang tipis terkadang lebih mudah dalam mengikuti
lekuk tubuh sehingga sekalipun tidak transparan, bentuk tubuh seorang wanita
menjadi mudah terlihat.
4. Harus Longgar, Tidak Ketat
Selain kain yang tebal dan tidak tipis, maka pakaian
tersebut haruslah longgar, tidak ketat, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh
wanita muslimah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits dari Usamah bin Zaid
ketika ia diberikan baju Qubthiyah yang tebal oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ia memberikan baju tersebut kepada istrinya. Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau bersabda,
مرْها فلتجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظمها
“Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik
Qubthiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk
tubuh.” (HR.
Ad Dhiya’ Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan)
Maka tidak tepat jika seseorang mencukupkan dengan memakai
rok, namun ternyata tetap memperlihatkan pinggul, kaki atau betisnya. Maka jika
pakaian tersebut telah cukup tebal dan longgar namun tetap memperlihatkan
bentuk tubuh, maka dianjurkan bagi seorang muslimah untuk memakai lapisan
dalam. Namun janganlah mencukupkan dengan kaos kaki panjang, karena ini tidak
cukup untuk menutupi bentuk tubuh (terutama untuk para saudariku yang sering
tersingkap roknya ketika menaiki motor sehingga terlihatlah bentuk betisnya).
Poin ini juga menjadi jawaban bagi seseorang yang membolehkan penggunaan celana
dengan alasan longgar dan pinggulnya ditutupi oleh baju yang panjang. Celana
boleh digunakan untuk menjadi lapisan namun bukan inti dari pakaian yang kita
kenakan. Karena bentuk tubuh tetap terlihat dan hal itu menyerupai pakaian kaum
laki-laki. (lihat poin 6). Jika ada yang beralasan, celana supaya fleksibel.
Maka, tidakkah ia ketahui bahwa rok bahkan lebih fleksibel lagi jika memang
sesuai persyaratan (jangan dibayangkan rok yang ketat/span). Kalaupun rok tidak
fleksibel (walaupun pada asalnya fleksibel) apakah kita menganggap logika kita
(yang mengatakan celana lebih fleksibel) lebih benar daripada syari’at yang
telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Renungkanlah wahai saudariku!
5. Tidak Diberi Wewangian atau Parfum
Perhatikanlah salah satu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkaitan tentang wanita-wanita yang memakai wewangian ketika
keluar rumah,
ايّما امرأةٍ استعطرتْ فمَرّتْ على قوم ليَجِدُوا رِيْحِها،
فهيا زانِيةٌٍ
“Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati
kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (HR. Tirmidzi)
أيما امرأة أصابت بخورا فلا تشهد معنا العشاء الاخرة
“Siapapun perempuan yang memakai bakhur, maka janganlah ia
menyertai kami dalam menunaikan shalat isya’.” (HR. Muslim)
Syaikh Al Bani berkata, “Wewangian itu selain ada yang
digunakan pada badan, ada pula yang digunakan pada pakaian.” Syaikh juga mengingatkan
tentang penggunaan bakhur (wewangian yang dihasilkan dari pengasapan) yang ini
lebih banyak digunakan untuk pakaian bahkan lebih khusus untuk pakaian. Maka
hendaknya kita lebih berhati-hati lagi dalam menggunakan segala jenis bahan
yang dapat menimbulkan wewangian pada pakaian yang kita kenakan keluar, semisal
produk-produk pelicin pakaian yang disemprotkan untuk menghaluskan dan
mewangikan pakaian (bahkan pada kenyataannya, bau wangi produk-produk tersebut
sangat menyengat dan mudah tercium ketika terbawa angin). Lain halnya dengan
produk yang memang secara tidak langsung dan tidak bisa dihindari membuat
pakaian menjadi wangi semisal deterjen yang digunakan ketika mencuci.
6. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki
Terdapat hadits-hadits yang menunjukkan larangan seorang
wanita menyerupai laki-laki atau sebaliknya (tidak terbatas pada pakaian saja).
Salah satu hadits yang melarang penyerupaan dalam masalah pakaian adalah hadits
dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الرجل يلبس لبسة المرأة و
المرأة تلبس لبسة الرجل
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang
memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.” (HR. Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kesamaan dalam
perkara lahir mengakibatkan kesamaan dan keserupaan dalam akhlak dan
perbuatan.” Dengan menyerupai pakaian laki-laki, maka seorang wanita akan
terpengaruh dengan perangai laki-laki dimana ia akan menampakkan badannya dan
menghilangkan rasa malu yang disyari’atkan bagi wanita. Bahkan yang berdampak
parah jika sampai membawa kepada maksiat lain, yaitu terbawa sifat
kelaki-lakian, sehingga pada akhirnya menyukai sesama wanita. Wal’iyyadzubillah.
Terdapat dua landasan yang dapat digunakan sebagai acuan
bagi kita untuk menghindari penggunaan pakaian yang menyerupai laki-laki.
- Pakaian tersebut membedakan antara pria dan wanita.
- Tertutupnya kaum wanita.
Sehingga dalam penggunaan pakaian yang sesuai syari’at
ketika menghadapi yang bukan mahromnya adalah tidak sekedar yang membedakan
antara pria dan wanita namun tidak tertutup atau sekedar tertutup tapi tidak
membedakan dengan pakaian pria. Keduanya saling berkaitan. Lebih jelas lagi
adalah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Kawakib
yang dikutip oleh syaikh Al Bani, yang penulis ringkas menjadi poin-poin
sebagai berikut untuk memudahkan pemahaman,
- Prinsipnya bukan semata-mata apa yang dipilih, disukai dan biasa dipakai kaum pria dan kaum wanita.
- Juga bukan pakaian tertentu yang dinyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau yang dikenakan oleh kaum pria dan wanita di masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Jenis pakaian yang digunakan sebagai penutup juga tidak ditentukan (sehingga jika seseorang memakai celana panjang dan kaos kemudian menutup pakaian dan jilbab di atasnya yang sesuai perintah syari’at sehingga bentuk tubuhnya tidak tampak, maka yang seperti ini tidak mengapa -pen)
Kesimpulannya, yang membedakan antara jenis pakaian pria dan
wanita kembali kepada apa yang sesuai dengan apa yang diperintahkan bagi pria
dan apa yang diperintahkan bagi kaum wanita. Namun yang perlu diingat,
pelarangan ini adalah dalam hal-hal yang tidak sesuai fitrahnya. Syaikh
Muhammad bin Abu Jumrah rahimahullah sebagaimana dikutip oleh Syaikh Al
Bani mengatakan, “Yang dilarang adalah masalah pakaian, gerak-gerik dan
lainnya, bukan penyerupaan dalam perkara kebaikan.”
7. Tidak Menyerupai Pakaian Wanita-Wanita Kafir
Banyak dari poin-poin yang telah disebutkan sebelumnya
menjadi terasa berat untuk dilaksanakan oleh seorang wanita karena telah
terpengaruh dengan pakaian wanita-wanita kafir. Betapa kita ketahui, mereka
(orang kafir) suka menampakkan bentuk dan lekuk tubuh, memakai pakaian yang
transparan, tidak peduli dengan penyerupaan pakaian wanita dengan pria. Bahkan
terkadang mereka mendesain pakaian untuk wanita maskulin! Hanya kepada
Allah-lah kita memohon perlindungan dan meminta pertolongan untuk dijauhkan
dari kecintaan kepada orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,
untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya
telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang
atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka
adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid [57]: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Firman
Allah, ‘Janganlah mereka seperti…’ merupakan larangan mutlak dari tindakan
menyerupai mereka….” (Al Iqtidha, dikutip oleh Syaikh Al Bani)
8. Bukan Pakaian Untuk Mencari Popularitas
“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari
popularitas) di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan pada hari
kiamat, kemudian membakarnya dengan api naar.”
Adapun libas syuhrah (pakaian untuk mencari
popularitas) adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih
popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakaian tersebut mahal, yang
dipakai seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian
yang bernilai rendah yang dipakai seseorang untuk menampakkan kezuhudan dan
dengan tujuan riya. (Jilbab Muslimah)
Namun bukan berarti di sini seseorang tidak boleh memakai
pakaian yang baik, atau bernilai mahal. Karena pengharaman di sini sebagaimana
dikatakan oleh Imam Asy Syaukani adalah berkaitan dengan keinginan meraih
popularitas. Jadi, yang dipakai sebagai patokan adalah tujuan memakainya.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suka jika hambanya menampakkan kenikmatan yang
telah Allah berikan padanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى
عَبْدِهِ
“Sesungguhnya Allah menyukai jika melihat bekas kenikmatan
yang diberikan oleh-Nya ada pada seorang hamba.” (HR. Tirmidzi)
PENUTUP
Demikian sedikit penjelasan tentang pengertian jilbab dan
penjelasan dari poin-poin tentang persyaratan jilbab muslimah yang sesuai
syari’at. Saudariku… janganlah kita terpedaya dengan segala aktifitas dan
perkataan orang yang menjadikan seseorang cenderung merasa tidak mungkin untuk
menggunakan jilbab yang sesuai syari’at. Ingatlah, bahwa sesungguhnya tidak ada
teman di hari akhir yang mau menanggung dosa yang kita lakukan. Hanya kepada
Allahlah kita memohon pertolongan ketika menjalankan segala ibadah yang telah
disyari’atkan. Semoga artikel ini juga dapat menjawab berbagai pertanyaan dan
komentar yang masuk pada artikel-artikel sebelumnya. Wallahu a’lam.
Maraji’:
- Majalah Al Furqon, edisi 12 tahun III
- Jilbab Muslimah. Syaikh Al Bani. Pustaka At Tibyan
- Maktabah Syamilah
***
Artikel www.muslimah.or.id
*Ini jilbab yang benar, gimana jilbabmu? ^^
*Ini jilbab yang benar, gimana jilbabmu? ^^
0 komentar:
Posting Komentar